Pada akhir abad ke-20 dan memasuki abad ke-21 ini, pemakaian
jilbab semakin semarak di dunia Islam, terutama di Indonesia. Meskipun
demikian, praktek berjilbab masih mengundang kontroversi di sejumlah negara di
Barat, seperti Perancis, Inggris, dan Amerika. Di negara-negara tersebut jilbab
dianggap sebagai pakaian kuno yang akan mengekang kebebasan kaum wanita dan
menghambat kemajuan umat Islam. Dalam konteks ini, jilbab selalu dikaitkan
dengan persoalan politik dan ideologi. Padahal kewajiban berjilbab bukan monopoli ajaran Islam tetapi juga ditetapkan dalam tradisi sebelum
Islam. Murtadha Muthahhari menyatakan bahwa hijab dan kain kerudung sudah ada
di tengah-tengah sebagian kaum sebelum Islam. Penduduk Iran tempo dulu, kelompok-kelompok Yahudi,
dan juga bangsa India merupakan bangsa pemakai jilbab. Jilbab juga digunakan
sebagai pakaian yang terhormat oleh kaum wanita Zaroaster, Hindu, Yahudi, dan
Kristen.
Tulisan ini akan
mencoba mengulas praktek berjilbab menurut Yahudi, Nasrani, Hindu, Buddha,
Kejawen, dan JIL. Mengulas tema ini penting untuk memahami sejumlah pandangan
stereotipikal tentang jilbab yang diidentifikasi sebagat produk budaya Arab, anti-kemajuan, simbol kebodohan, terorisme, dan sebagainya.
Berkaitan dengan pandangan stereotipikal ini, Zahra Rahnavard mengingatkan kaum
wanita untuk menyadari bahwa larangan berjilbab adalah senjata paling ampuh
untuk merendahkan dan menghinakan kaum wanita. [“Pesan Pemberontakan Hijab Jerit Hati Wanita Muslimah, Zahra
Rahnavard,(Bogor: Cahaya, 2003), cet. Ke-I, h.22].
JILBAB MENURUT AJARAN YAHUDI
Anjuran memakai jilbab/cadar bagi kaum Yahudi:
Talmud Yahudi menyatakan:
“Apabila seorang wanita melanggar syariat Talmud, seperti
keluar ke tengah-tengah masyarakat tanpa mengenakan kerudung atau berceloteh di
jalan umum atau asyik mengobrol bersama
laki-laki dari kelas apa pun, atau bersuara keras di rumahnya sehingga
terdengar oleh tetangga-tetangganya, maka
dalam keadaan seperti itu suaminya boleh menceraikannya tanpa
membayar mahar padanya.” [“Al Hijab”, Abul
A’la Maududi, h. 6].
Seorang pemuka agama Yahudi, Rabbi Dr. Menachem M. Brayer,
Professor Literatur Injil pada Universitas Yeshiva dalam bukunya, The Jewish
woman in Rabbinic Literature, menulis bahwa baju bagi wanita Yahudi saat
bepergian keluar rumah yaitu mengenakan penutup kepala yang terkadang bahkan
harus menutup hampir seluruh muka dan hanya meninggalkan sebelah mata saja.
Dalam bukunya tersebut ia mengutip pernyataan beberapa Rabbi (pendeta Yahudi)
kuno yang terkenal: “Bukanlah layaknya anak-anak perempuan Israel yang berjalan
keluar tanpa penutup kepala” dan “Terkutuklah laki-laki yang membiarkan rambut
istrinya terlihat,” dan “Wanita yang membiarkan rambutnya terbuka untuk
berdandan membawa kemelaratan.” [Sabda Langit Perempuan dalam Tradisi Islam,
Yahudi, dan Kristen, Sherif Abdel Azeem,
(Yogyakarta: Gama Media, 2001),
cet. Ke-2, h.74].
Kerudung juga menyimbolkan kondisi yang membedakan status
dan kemewahan yang dimiliki wanita yang menge-nakannya. Kerudung kepala
menandakan martabat dan keagungan seorang wanita bangsawan Yahudi.
Oleh karena itu di masyarakat Yahudi kuno, pelacur-pelacur
tidak diperbolehkan menutup kepalanya. Tetapi pelacur-pelacur sering memakai
penutup kepala agar mereka lebih dihormati (S.W.Schneider, 1984, hal 237).
Wanita-wanita Yahudi di Eropa menggunakan kerudung sampai
abad ke 19 hingga mereka bercampur baur dengan budaya sekuler. Dewasa ini,
wanita-wanita Yahudi yang shalih tidak pernah memakai penutup kepala kecuali
bila mereka mengunjungi sinagog (gereja Yahudi).[S.W.Schneider, 1984, hal.
238-239].
Dalam Hukum Rabi Yahudi, wanita Yahudi yang sudah bersuami
dan tidak berjilbab dipandang sebagai
wanita yang tidak terhormat. Hukum Rabi Yahudi juga melarang pembacaan dan doa
di depan wanita yang sudah menikah tanpa menutup kepala dengan kerudung karena
wanita yang membuka rambutnya itu dianggap sebagai wanita telanjang. Wanita ini
bahkan dianggap sebagai wanita yang merusak kerendahan hatinya dan didenda
dengan empat ratus zuzim karena pelanggarannya.[ibid, h. 74-75]
Syariat jilbab Yahudi yang ditetapkan oleh hukum Rabi maupun
kitab Talmud yang diimani oleh kaum Yahudi
setelah kitab Taurat, menekankan kepada kaum wanita untuk mentaati dan
mengamalkannya. Bahkan ketika wanita Yahudi keluar rumah dan tidak memakai jilbab,
maka laki-laki yang melihatnya harus menegurnya untuk berjilbab. Kalau
laki-laki itu membiarkannya, maka ia terkutuk. Begitu pula para suami kepada
istri-istrinya. Karena itu, dapat
dikatakan berjilbab merupakan syariat
yang harus ditegakkan dalam kehidupan Yahudi.
Jilbab yang dipakai oleh kaum wanita Yahudi bukan saja sebagai syariat yang harus ditaati, namun juga sebagai lambang kemewahan,
kewibawaan, dan mahalnya harga wanita yang suci, serta menunjukkan status
sosial yang terhormat. Hal ini ditegaskan
oleh Menachem M. Brayer bahwa jilbab
wanita Yahudi tidak selamanya dianggap sebagai tanda kesederhanaan atau
kerendahan hati, melainkan juga simbol
keistimewaan dan kemewahan, kewibawaan dan superioritas wanita bangsawan, serta
menggambarkan mahalnya harga wanita sebagai milik suami yang suci, di samping sebagai harga diri dan status sosial
seorang wanita. [ibid, h. 75].
Pernyataan di atas juga memberikan kesan kuat bahwa jilbab
telah dikenakan oleh wanita-wanita sebelum kaum Yahudi, karena jilbab merupakan
aturan Tuhan yang diperintahkan kepada para istri-istri Nabi. Jilbab yang
dipraktekkan oleh kaum wanita Yahudi tersebut masih bertahan sampai saat ini
bahkan wanita-wanita yang berada di Eropa masih mempertahankan pemakaian jilbab sampai abad ke-19 ketika
kehidupan wanita sudah mulai bercampur dengan
kebudayaan sekuler.’ wanita-wanita Yahudi di Eropa masih mempertahankan
tradisi untuk selalu menutup kepalanya supaya tidak terlihat rambutnya dengan
wig. Namun wanita-wanita Yahudi yang ada di Timur Tengah masih menggunakan
jilbabnya dikala mau keluar rumah maupun
beribadah kepada Tuhan di Sinagoge. Berarti syariat jilbab mau
dipraktekkan dikalangan kaum wanita Yahudi sebagai ketaatan kepada aturan
syariat Talmud dan hukum Rabi Yahudi.
Jilbab yang ditekankan oleh syariat Talmud dan hukum Rabi
begitu keras dan tegas kepada kaum wanita Yahudi. Akan tetapi di sisi lain, ada
syariat Talmud dan aturan hukum para Rabi Yahudi yang begitu menghinakan kaum
wanita, seperti diperbolehkannya para wanita untuk menjadi pelacur demi
kemenangan kaum Yahudi. Dinyatakan oleh Rabbi Tam bahwa
berzina dengan orang non-Yahudi,
baik laki-laki maupun perempuan, tidak ada hukumnya, karena orang-orang asing
adalah keturunan hewan. [Talmud Kitab Hitam Yahudi Yang Menggemparkan,
Muhammad Asy-Syarqawi,(Jatiwaringin:
Sahara, 2004), cet. Ke-1, h. 234].
Ungkapan Rabi Yahudi ini berarti membolehkan pelacuran dan
perbuatan perzinahan bagi kaum wanitanya.
JILBAB MENURUT AJARAN NASRANI
Anjuran memakai jilbab/cadar bagi kaum Nasrani:
– “…Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat
dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan
perempuan yang dicukur rambutnya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi
kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi
perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka
haruslah ia menudungi kepalanya. Sebab laki-laki tidak perlu menudungi
kepalanya: ia menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah. Tetapi perempuan menyinarkan
kemuliaan laki-laki. Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi
perempuan berasal dari laki-laki. Dan laki-laki tidak diciptakan karena
perempuan, tetapi perempuan diciptakan karena laki-laki. Sebab itu, perempuan
harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat. Namun
demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada
laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki,
demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal
dari Allah. Pertimbangkanlah sendiri: Patutkah perempuan berdoa kepada Allah
dengan kepala yang tidak bertudung? Bukankah alam sendiri menyatakan kepadamu,
bahwa adalah kehinaan bagi laki-laki, jika ia berambut panjang, tetapi bahwa adalah
kehormatan bagi perempuan, jika ia berambut panjang? Sebab rambut diberikan
kepada perempuan untuk menjadi penudung…”
(Korintus 11: 5-15).
– “…Menjelang senja Ishak sedang keluar untuk berjalan-jalan
di padang. Ia melayangkan pandangnya, maka dilihatnyalah ada unta-unta datang.
Ribka juga melayangkan pandangnya dan ketika dilihatnya Ishak, turunlah ia dari
untanya. Katanya kepada hamba itu: “Siapakah laki-laki itu yang berjalan di
padang ke arah kita?” Jawab hamba itu: “Dialah tuanku itu.” Lalu Ribka mengambil
telekungnya dan bertelekunglah ia.”
(Genesis/Kejadian 24: 63-65)
Berjilbab dalam tradisi Kristen tidak jauh berbeda dengan
tradsi Yahudi. Wanita-wanita di sekitar
Yesus kristus berjilbab atau berkerudung sesuai dengan praktek wanita-wanita di
sekitar para Nabi terdahulu. Pakaian mereka longgar dan menutupi tubuh mereka
sepenuhnya. Mereka juga berjilbab untuk menutupi rambutnya. Hal itu berarti
bahwa wanita-wanita kristen yang berjilbab merupakan tanda ketaatan kepada
Tuhan. Tradisi berjilbab ini bahkan sudah lama dipraktekkan oleh para Biarawati
katolik selama ratusan tahun. [“Sabda Langit Perempuan dalam Tradisi Islam,
Yahudi, dan Kristen”, Sherif Abdel Azeem, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), cet.
Ke-2, h.76].
Lihat videonya: RATU AUSTRIA BERCADAR!
Menutup kepala atau berjilbab yang dilakukan oleh para
Biarawati Katolik itu sampai kini masih diberlakukan. Namun, wanita-wanita
kristen saat ini, baik yang ada di Eropa atau Barat, dan termasuk di Indonesia,
tidak memakai jilbab atau menutup kepalanya, walaupun Santo Paulus telah
mengingatkan kepada jemaatnya untuk memakai kerudung atau berjilbab.
Menurut St. Paulus, menutup kepala bagi wanita itu sebagai simbol otoritas laki-laki yang merupakan bayangan dan keagungan Tuhan, karena wanita diciptakan dari laki-laki dan untuk kepentingan laki-laki pula. [Kitab I Korintus, 11: 7-9]
This is what a Carmelite nun does right after getting out of bed. Notice the skull
Begitu pula St.Tertullian menyatakan bahwa wanita muda harus
memakai kerudung ketika ia mau pergi ke jalan. Oleh karenanya, wanita
diwajibkan untuk memakai jilbab ketika di Gereja dan ketika berada di antara orang-orang yang
tidak dikenal. [“Sabda Langit Perempuan dalam Tradisi Islam, Yahudi, dan
Kristen”, Sherif Abdel Azeem, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), cet. Ke-2,
h.76-77].
Dalam kaitan ini, Abu Ameenah Bilal Philips menegaskan bahwa
dalam kanon Gereja katolik terdapat artikel hukum yang mewajibkan wanita
untuk menutup kepala mereka saat berada di
Gereja. Bahkan sekte-sekte Kristen, seperti kaum Amish dan Mennonite
memelihara kerudung bagi kaum wanitanya hingga saat ini.[“Agama Yesus Yang
Sebenarnya”, Abu Ameenah Bilal
Philips,(Jakarta: Pustaka Dai, 2004), h. 179].
Namun wanita kristen yang berada di Barat atau di Eropa,
atau juga di Indonesia sudah menanggalkan jilbabnya. Bahkan saat datang ke Gereja
pada setiap hari minggu tidak terlihat
jemaat wanitanya memakai jilbab atau kerudung. Berjilbab dalam kristen
ternyata sudah dipraktekkan oleh Ibu
Yesus kristus atau Bunda Maria, seperti terlihat dalam gambar-gambar Bunda
Maria yang memakai jilbab. St. Paulus menekankan kepada wanita Kristen untuk
berjilbab karena termasuk wanita yang mulia dan terhormat. Apalagi Bunda Maria
sebagai ibu Yesus yang suci dan
dimuliakan Tuhan.
JILBAB MENURUT AJARAN HINDU
Anjuran memakai jilbab/cadar bagi kaum Hindu:
– “Ketika Brahma berpapasan, ketika Brahma memilihkan anda
seorang perempuan, kalian hendaknya menundukkan pandangan, tidak boleh
memandang. Anda harus menyembunyikan pergelangan anda, dan tidak boleh
memperlihatkan apa yang dipergelangan anda.” [Rigveda Book 8 Hymn 33 Verses
19].
– “Orang tidak boleh senonoh, apabila seorang suami
mengenakan pakaian istrinya, tidak boleh mengenakan pakaian lawan jenis.”
[Rigveda Book 10 Hym 85 Verses 30].
– “Rama berkata kepada Shinta, dia memerintahkan agar
menundukkan pandangan dan mengenakan kerudung.” [Mahavir Charitra Act 2 Page
71].
Hal yang sama juga dilakukan dalam tradisi orang-orang India
yang sebagian besar penganut ajaran Hindu. Pakaian yang panjang sampai
menyentuh mata kaki dengan kerudung menutupi kepala adalah pakaian khas yang
dipakai sehari-hari. [http://cdn-u.kaskus.us/34/pemwid9a.jpg].
JILBAB/CADAR MENURUT AJARAN BUDDHA
Anjuran memakai jilbab/cadar bagi kaum Buddha:
Pada masa Sang Buddha beberapa wanita memakai cadar walaupun
lebih sebagai [pelindung] yang sama dengan topi daripada untuk menutupi wajah.
Namun sekitar awal milenium pertama, cadar mulai dianggap sebagai hal yang
sepantasnya bagi wanita kelas atas dan mereka yang berada dalam rumah tangga
kerajaan untuk menutupi diri mereka dengan cadar. Ini merupakan awal dari apa
yang disebut purdah, pengasingan para wanita dari khalayak ramai, sebuah trend
yang menjadi lebih tersebar luas di India dengan diperkenalkannya agama Islam
pada abad ke-13. Para wanita desa di India masih menarik kain sari mereka menutupi
wajah mereka di hadapan pria yang tidak ada hubungan dengan mereka.
Lalitavistara [Sutra], sebuah kisah kehidupan Sang Buddha
yang fantastis yang disusun sekitar abad pertama SM dan abad ke-3 M, mengandung
kisah yang menarik berkenaan dengan masalah wanita memakai cadar. Berdasarkan
karya ini, setelah Yasodhara terpilih menjadi istri Pangeran Siddhartha,
orang-orang mengkritiknya karena tidak menutupi dirinya dengan cadar di hadapan
ayah dan ibu mertuanya. Ini dianggap sebagai tanda ketidaksopanan dan
ketidaksetiaan”
Lalitavistara menggambarkan wanita muda tersebut
mempertahankan dirinya dalam kata-kata berikut:
“Mereka yang terkendali dalam perbuatan dan perilaku, baik
dalam tutur kata, dengan indera-indera terkendali, tenang dan damai, mengapa
mereka harus menutupi wajah mereka? Bahkan jika ditutupi dengan seribu cadar,
jika mereka tidak tahu malu dan tidak sopan, tidak jujur dan tidak memiliki
kebajikan, mereka hidup di dunia ini dengan tidak tertutupi dan tidak
terlindungi. Bahkan tanpa ditutupi cadar jika indera-indera dan pikiran mereka
terjaga dengan baik, mereka setia pada satu suami, tidak pernah berpikir
tentang [pria] yang lain, mereka bersinar bagaikan matahari dan rembulan. Jadi
mengapa mereka harus menutupi wajah mereka? Orang-orang bijaksana yang [dapat]
membaca pikiran orang lain mengetahui maksudku seperti juga para dewa
mengetahui perilaku dan kebajikanku, ketaatan dan kesopananku, Oleh sebab itu,
mengapa aku harus menutupi wajahku?”
Walaupun kisah ini diragukan kebenarannya (apocryphal), ini
sesuai dengan pandangan Sang Buddha bahwa hal-hal psikologis dan internal lebih
penting daripada hal-hal material dan eksternal.
Kewajiban memakai jilbab bagi kaum wanita bukan monopoli
tradisi Islam. Memakai jilbab juga
bagian dari tradisi keagamaan Yahudi, Nasrani, Hindu dan Buddha. Dalam
tradisi Yahudi, jilbab merupakan simbol
ketaatan dan kehormatan wanita terhadap suaminya, bentuk ibadah kepada Tuhan,
lambang kemewahan, kewibawaan, kebangsawanan, dan kesucian wanita. Meskipun
prakteknya tidak ideal, kewajiban
memakai jilbab dalam tradisi kristen tercermin dalam ungkapan St. Paulus yang
menyatakan bahwa wanita yang tidak berjilbab maka harus dicukur rambutnya
sampai botak karena dianggap telah menghina suaminya. Islam menegaskan bahwa
kaum wanita diwajibkan untuk berjilbab
dan berpakaian yang sopan dan terhormat, tidak tipis dan ketat yang bisa menimbulkan
rangsangan birahi dan fitnah. Jilbab dalam Islam tidak mengekang dan membuat
wanita menjadi terbelakang melainkan wanita menjadi terjaga kesucian dan
kehormatannya, terjaga keamanan dan kemuliaannya. Jadi, wanita muslimah yang
berjilbab berarti membumikan syariat
Ilahi dalam kehidupannya sehingga menimbulkan kepribadian yang tangguh dan jati
diri wanita yang shalihah.
Lain halnya dengan ajaran Kejawen dan JIL (Jaringan Islam
Liberal) yang mana mereka mengatakan bahwa jilbab adalah tidak wajib dan
merupakan budaya arab.
اَشْهَدُاَنْالَااِلَهَ
اِلَّااللهُ وَاَثْهَدُاَنَّ مُحَمَّدًا رَسٌؤلُ اللهِ